Selasa, 15 Juli 2014

UNGKAPAN TRADISIONAL DALAM BUDAYA SUMBAWA


Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu bangsa yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Folkor berkembang sesuai tingkat religi masyarakat itu sendiri. Hal ini, karena kerja folklor tidak terlepas dari hasil pemikiran manusia. Folklor diciptakan, di sebarkan, dan diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut). Oleh karena itu, folklor tersebar hanya di daerah tertentu yang masyarakatnya masih berhubungan erat dan masih dalam satu ruang lingkup komunikasi. Folklor tersebar begitu saja sehingga tidak diketahui penciptanya. Folklor sendiri terdiri atas berbagai macam versi serta mengandung pesan moral. Adapun folklor lisan yang bentuknya murni lisan yaitu diciptakan, di sebar luaskan, dan di wariskan secara lisan. Contohnya: bahasa rakyat (logat, julukan), ungkapan tradisional (pribahasa, pepatah), pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, syair), cerita prosa rakyat (mitos, legenda, dongeng) dan juga nyanyian rakyat (di sebut juga lagu-lagu di berbagai daerah).
Sama halnya dengan daerah-daerah lain di penjuru Indonesia. Daerah Sumbawa juga memiliki kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat Sumbawa. Masyarakat Sumbawa biasa di sebut dengan “Tau Samawa”. Para tau Samawa pada zaman dahulu memiliki berbagai macam adat-istiadat tradisional yang bernilai seni sastra. Salah satunya yakni Lawas, Tuter, Panan, dan Ama. Semua ini merupakan bagian dari folklor atau hasil kreativitas para tau Samawa pada zaman dahulu yang disampaikan secara turun-temurun hingga ke generasinya saat ini. Macam-macam folklor ini di buat sesuai dengan fungsi atau maksud dan cara penyampainya masing-masing.
Adapun ungkapan tradisional dalam budaya Sumbawa disebut dengan “Ama.” Ama merupakan pribahasa ciri khas daerah Sumbawa. Ama ini dibuat oleh para tau Samawa, berbentuk kata kiasan dalam bahasa Sumbawa yang memiliki makna-makna tertentu, dapat berisi petuah, nasehat, dan pelajaran bagi pendengarnya. Fungsinya untuk mengajarkan moral kepada generasi-generasi muda. Proses edukasi seperti ini juga mengandung nilai seni, karena Ama merupakan hasil kreativitas atau buah pikir manusia yang di ungkapkan dengan kata-kata yang di indahkan.

Beberapa contoh ama dalam budaya Sumbawa, sebagai berikut:

  • Yamo porat air langan poto artinya “bagai menarik bambu dari ujungnya.” Adapun maksud dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk orang yang sedang menghadapi masalah berat.
  • Mara bote bau balang artinya “Seperti kera menangkap belalang.” Adapun maksud dari ungkapan ini adalah jika kera menangkap belalang maka akan di simpan diketiaknya, lalu mengkap lagi dan yang di simpan itu terbang lagi. Ini merupakan ungkapan untuk orang yang tidak puas dengan apa yang diperoleh.
  • Ajar bote ntek kayu artinya “mengajar kera memanjat pohon.” Adapun maksud dari ungkapan ini adalah sindiran untuk orang yang banyak bicara padahal orang yang diajak bicara lebih pintar. Ungkapan ini juga sindiran untuk orang yang sombong.
  • Yamo tu bolang sira lako lit artinya “bagaikan membuang garam di laut.” Adapun maksud dari ungkapan ini adalah sindiran untuk orang yang diberi nasihat namun tidak menghiraukan atau orang yang memberi pertolongan kepada orang yang tidak butuh pertolongan.
  • Mara bodok sio kuku artinya “bagai kucing yang menyimpan kuku.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah sindiran bagi orang pintar yang suka menyembunyikan kepintarannya.
  • Turit jempang tau nyoro artinya “mengikuti jejak pencuri.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk orang yang selalu sial, seperti di tuduh berbuat jahat padahal orang itu tidak melakukannya.
  • Bastili pang salak rebu selamar artinya “berlindung dibalik sehelai rumput.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah sindiran untuk orang yang selalu menyembunyikan kesalahan dengan bermacam-macam alasan.
  • Mara jaran boko gula artinya “seperti kuda membawa gula.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk orang yang sudah bekerja keras namun orang lain yang menikmati hasilnya.
  • Tili sira no basa artinya “melindungi garam agar tidak basah.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah sindiran untuk orang yang suka menyembunyikan aibnya agar tidak diketahui orang lain.
  • Mara pio adang adal artinya “seperti burung menghadang embun.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk orang yang melakukan pekerjaan yang sia-sia.
  • Ete range teruk mata artinya “ambil kayu tusuk mata.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk orang yang melakukan pekerjaan beresiko tinggi.
  • Irak rum motong setambul artinya “ribut di roma kebakaran di istambul.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan suatu peristiwa di mana lain tempat kejadiannya tapi lain tempat ribut atau hebohnya.
  • Jaran rea rik tali artinya “kuda besar menginjak tali.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk seorang yang melakukan sesuatu tapi tidak sadar berdampak buruk pada dirinya.
  • Bilen api bao puntuk artinya “meninggalkan api di atas potongan kayu.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk seorang yang meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.
  • Mira kepia artinya “Merah songkok.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah sindiran bagi orang yang selingkuh.
  • Ayam todok tele artinya “ayam mematok telur.” Adapun makna dari ungkapan ini adalah ungkapan untuk seorang yang tidak berhasil memimpin suatu kelompok, organisasi atau lembaga.
Demikian beberapa penjelasan dan contoh ungkapan tradisional dalam budaya Sumbawa yang disebut dengan “Ama.” Semoga dengan penjelasan ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman dalam dunia folklor nusantara di Indonesia, khususnya budaya yang ada di Sumbawa-Nusa Tenggara Barat.

Kamis, 12 Juni 2014

Folklor Nusantara "Bahasa Rakyat" Sumbawa

Bahasa Rakya
1. Nama panggilan
Nama panggilan ini merupakan sebuah panggilan khas atau lazim masyarakat Sumbawa untuk nama-nama  tertentu, nama panggilan ini tidak diketahui siapa yang membuatnya. Namun, nama panggilan sudah melekat kepada setiap orang sebagai panggilan kesayangan atau panggilan kecil yang di mana masyarakat Sumbawa menyebutnya dengan istilah pedondo. Berikut beberapa contoh panggilan nama tersebut,
NAMA
NAMA PANGGILAN
Abdullah
Ahmad
Aminah
Aminudin
Aisyah
Burhanudin
Bansawan
Gaffar
Gafur
Hasanudin
Husain
Hasanah
Hamid
Fatimah
Halimah
Hadiah
Halim
Iqbal
Ibrahim
Ihsan
Intan
Ilham
Jafarudin
Jamaludin
Jalaludin
Jawaria
Kamaludin
Khaidir
Khaerudin
Kamariah
Muhammad
Maimunah
Nilawan
Nurdin
“Nur” pada nama laki-laki
“Nur” pada nama perempuan
Patawari
Patahollah
Rahma
Rahmat
Rahim
Rabiatul
Rukmini
Rosmiati
Rohana
Saleh
Sri
Siti
Syaifudin
Syaifullah
Salahudin
Syafrudin
Syamsudin
Syafarudin
Syofyan
Zakariah
Zaulkifli
Zainudin
Bedo, Doya
Jame, Hemat, Mek
Mindong
Ami
Icang
Boha
Benga
Ape
Apung
Ace
Uce
Nun
Ame’
Imbuk
Imo
Iyo
Halum
Ibeng
Jaho
Iceng
Ite
Ilo
Jepo
Jambul
Jalik
Jawe
Kambeng
Ide
Ude
Kambeng
Ame
Memun
Aweng
Ndin
Ne
No
Pato
Doya
Ma
Mat
Ahim, Aho
Atul
Ruk
Ro
Ro
Jale
Jrek
Itik
Aip
Ipul
Laho, Bo
Sap
Co
Ape
Piyo
Jake, Sake
Akif
Ude

2. Gelar/tahta kebangsawanan Sumbawa
Gelar kebangsawanan di dalam masyarakat Sumbawa sebenarnya lahir jauh sebelum Islam datang tapi dalam kehidupan masyarakat feodal masa lalu meskipun Islam sudah masuk mereka tetap memelihara stratifikasi sosial untuk mbedakan bangsawan dengan masyarakat biasa karena umumnya para bangsawan tersebut adalah pemegang kekuasaan.
Ada beberapa gelar bangsawan dalam adat Tana Samawa :
a.    Daeng diberikan kepada putra dan putri Sultan maupun putra dan putri saudara Sultan yang menikahi suami atau istri yang sama bergelar Daeng. Disamping itu gelar Daeng juga diberikan kepada putra dan putri pejabat tinggi kesultanan seperti Menteri Telu.
b.   Datu diberikan kepada yang putra Datu yang menikahi putri Sultan atau Menteri Telu yang bergelar Daeng dan/atau putri Datu.
c.  Lalu dan Lala diberikan kepada putra dan putri Sultan maupun bangsawan pangkat atau pejabat dari istri yang kebangsawanannya lebih rendah dan bila sudah menikah menjadi Dea Radan.
d.    Dea diberikan selain kepada bangsawan pangkat dan juga kepada bangsawan pada umumnya sebagai panggilan. Dea ada dua garis pokok yakni dea pangkat (sampongo) dan dea biasa atau pongo singin yakni dea yang dipanggil mengikuti nama anaknya.

3. Logat dalam bahasa Sumbawa
    Logat dalam bahasa Sumbawa sangat berpengaruh terhadap posisi geografis dan ada tiga wilyah            pembagiannya yaitu timur, barat, dan tengah.
a.       Logat wilayah Timur
      Untuk wilayah timur memiliki logat yang cepat dan jelas dalam pegucapan kata-kata. Dalam pengucapannnya tidak ada penekanan khusus, semua kata diucapkan sesuai dengan bentuk penulisannya. Contoh: - Kam maning (Sudah mandi); - Kam mangan (Sudah makan).
b.      Logat wilayah Barat 
     Untuk wilayah barat memiliki logat yang lebih lambat dan jelas dalam pengucapan kata-kata. Lambatnya pengucapan ini dikarenakan adanya tekanan pengucapan dalam huruf vokal pada suatu kata. Contoh: - Kam maniii (Sudah mandi); - Apa boaaat (Apa kerja).
c.       Logat wilayah Tengah
    Untuk wilayah tengah memiliki logat yang lebih fleksibel, dikarenakan posisinya di tengah jadi logat yang dimiliki tidak ada yang terlalu mendominasi. Logat yang mempengaruhinya berasal dari dua wilayah sebelumnya yaitu timur dan barat.

sumber : Joe Think dan Muhammad Iqbal, S.Sos.

Sabtu, 11 Januari 2014

LALA BUNTAR (Lala Bunte)



Pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Silang, letaknya kira – kira 35 kilometer sebelah timur Sumbawa sekarang, tepatnya di Desa Pemasar di Kecamatan Plampang. Raja Silang mempunyai seorang Putri yang sangat rupawan yang bernama Lala Buntar atau Lala Bunte panggilan akrabnya. Diberikan nama demikian oleh ayahnya karena parasnya yang elok dan rupawan bagaikan Bulan Purnama ( Buntar dalan Bahasa Sumbawa berarti Purnama ).

Disamping parasnya yang rupawan Lala Bunte juga sangat boto ( boto berarti terampil ) Salah satu keterampilannya adalah keahlian menenun kain. Kain tenun hasil tenunannya sangat indah dengan motif – motif khas yang mempesona, dan tenunannya itu sangat baik kualitasnya. Hal ini membuat nama Lala Bunte semakin terkenal ke seluruh pelosok negeri. Karena keterampilannya itu sang ayah yang sangat menyayangi Lala Bunte memberika hadian kepada putrinya, berupa seperangkat alat tenun terbuat dari emas.

Mendengar berita tentang Lala Bunte banyaklah putra – putra raja bahkan raja – raja yang ingin melamar untuk dapat mempersunting Lala Bunte. Pada suatu hari Raja Silang kedatangan beberapa orang tamu. Ada yang datang dari kerajaan yang ada di Pulau Sumbawa, dan bahkan daru luar Sumbawa antara lain dari kerajaan Gowa.

Mereka semua bermaksud sama yakni datang untuk meminang Lala Bunte. Hal yang demikian itu membuat bingung Raja Silang, terlebih – lebih semua tamu yang datang masing – masing bersikeras agar niat mereka dapat dikabulkan.Suasana yang tadinya dirasa akrab berubah menjadi panas. Bahkan satu sama lain dari tamu tersebut sudah saling tantang untuk melakukan adu fisik dan kesaktian.

Melihat keadaan seperti itu, raja Silang berusaha untuk menenangkan keadaan, dengan cara yang bijaksana. Raja Silang mengambil keputusan bahwa permintaan dari tamu – tamunya tidak ada yang diterima maupun ditolak, karena terlebih dahulu akan dirembug dengan segenap keluarga dan para penasehat termasuk dengan Lala Bunte sendiri. Raja menetapkan waktu satu minggu untuk memberi keputusan. Kesempatan satu minggu itupun digunakan oleh Raja Silang untuk bermusyawarah.  

Pada malampertama dilakukannya musyawarah Raja Silang meminta pendapat putrinya Lala Bunte sebagai putri satu – satunya itu. Lala Bunte ternyata memiliki pendapat yang sama sekali berbeda dengan yang diharapkan oleh keluarganya. Semua yang hadir dalam pertemuan itu terperanjat dengan keinginan Lala Bunte untuk pergi meninggalkan kerajaan agar perpecahan yang bakal terjadi dapat dihindari. Lala Bunte berfikir bahwa dengan perginya dirinya dari kerajaan akan dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah karena yang diperebutkan sudah tidak ada lagi.

Keputusan Lala Bunte sudah pasti tidak ada yang dapat merubahnya. Dengan berat hati akhirnya seluruh keluarga menyetjui permintaan Lala Bunte. Dengan diiringi oleh para Jowa Perjaka ( para pendamping/pengikut), keesokan harinya berangkatlah Lala Bunte meninggalkan kerajaan, meninggalkan istana, dan meninggalkan ayah ibunya. Lala Bunte pergi menuju ke satu tempat untuk mengasingkan diri. Dalam kepergiannya itu Lala Bunte membawa serta peralatan tenunnya yang terbuat dari emas.

Dalam perjalanannya Lala Bunte sempat berfikir bahwa kemanapun dia pergi sepanjang masih dilihat orang maka dirinya tetap akan diperebutkan. Oleh sebab itu, tidak terlalu jauh dari kerajaannya, Lala Bunte meminta kepada pengikutnya untuk berhenti. Dalam perhentiannya itu Lala Bunte meminta kepada pengikutnya untuk membuat timbunan batu dan tanah. Timbunan tersebut dibentuk menyerupai bukit. Di tengah – tengah timbunan tersebut terdapat ruangan yang ditempati oleh Lala Bunte  bersama pengikutnya. Dipuncak timbunan tersebut dibuatkan lubang dengan maksud agar Lala Bunte dan pengikutnya yang ada didalam timbunan itu dapat bernafas. Salah seorang pengikutnya tetap berada diluar timbunan itu yang bertugas untuk menjemput makanan dari Istana Kerajaan guna keperluan Lala Bunte.

Satu Bulan lamanya Lala Bunte di dalam timbunan tanah dan batu yang meyerupai bukit itu menerima makanan yang diantarkan oleh pengikutnya.Pada suatu saat setelah itu, Lala Bunte dan pengikutnya didalam sudah tidak lagi muncul untuk menerima pasokan makanan.Pelayan yang betugas memasukkan makanan itu berfikir tentunya Lala Bunte beserta pengikutnya yang ada didalam timbunan tanah dan batu itu telah meninggal.Oleh pelayanan yang ada di luar, akhirnya lubang yang ada di puncak bukit tersebut ditutup dan dibuatkan kuburan diatasnya. Sampai sekarang kuburan tersebut dapat dilihat tepat di atas sebuah bukit kira – kra 5 km dari Desa Pemasar Kecamatan Plampang.

Pernah dua kali kuburannya ingin dibongkar oleh orang yang mengharap dapat mengambil emas – emas yang dibawa Lala Bunte beserta pengikutnya akan tetapi selalu gagal. Mereka yang mencoba untuk mengambilnya selalu berhadapan dengan peristiwa alam yang keras seperti hujan lebat,kilat dan petir yang menyambar debu yang beterbangan dan lain – lain peristiwa alam yang menyeramkan.  

Sumber : M. Nur Syiraj